Luka

ha ha

1976

husspuss
diamlah
kasihani mereka
mereka sekedar penyair
husspuss
maafkan aku
aku bukan sekedar penyair
aku depan
depan yang memburu
membebaskan kata
memanggilMu
pot pot pot
pot pot pot
kalau pot tak mau pot
biar pot semau pot
mencari pot
pot
hei Kau dengar manteraku
Kau dengar kucing memanggilMu
izukalizu
mapakazaba itasatali
tutulita
papaliko arukabazaku kodega zuzukalibu
tutukaliba dekodega zamzam lagotokoco
zukuzangga zagezegeze zukuzangga zege
zegeze zukuzangga zegezegeze zukuzang
ga zegezegeze zukuzangga zegezegeze zu
kuzangga zagezegeze aahh….!
nama nama kalian bebas
carilah tuhan semaumu

Ngiau

Suatu gang panjang menuju lumpur dan terang tubuhku me-ngapa panjang. Seekor kucing menjinjit tikus yang menggele-par tengkuknya. Seorang perempuan dan seorang lelaki bergi-gitan. Yang mana kucing yang mana tikusnya? Ngiau! Ah gang
yang panjang. Cobalah tentukan! Aku kenal Afrika aku kenal Eropa aku tahu Benua aku kenal jam aku tahu jentara aku kenal terbang. Tapi bila dua manusia saling gigitan menanamkan gigi-gigi sepi mereka aku ragu menetapkan yang mana suka yang mana luka yang mana hampa yang mana makna yang mana orang yang mana kera yang mana dosa yang mana surga.

BATU

batu mawar
batu langit
batu duka
batu rindu
batu jarum
batu bisu
kaukah itu
teka
teki
yang
tak menepati janji?
Dengan seribu gunung langit tak runtuh dengan seribu perawan
hati tak jatuh dengan seribu sibuk sepi tak mati dengan
seribu beringin ingin tak teduh. Dengan siapa aku mengeluh?
Mengapa jam harus berdenyut sedang darah tak sampai mengapa
gunung harus meletus sedang langit tak sampai mengapa peluk
diketatkan sedang hati tak sampai mengapa tangan melambai se-
dang lambai tak sampai. Kau tahu?
batu risau
batu pukau batu Kau-ku
batu sepi
batu ngilu
batu bisu
kaukah itu
teka
teki
yang
tak menepati janji?

PAHLAWAN TAK DIKENAL

Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah lubang peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang

Dia tidak ingat bilamana dia datang
Kedua lengannya memeluk senapang
Dia tidak tahu untuk siapa dia datang
Kemudian dia terbaring, tapi bukan tidur sayang

wajah sunyi setengah tengadah
Menangkap sepi padang senja
Dunia tambah beku di tengah derap dan suara merdu
Dia masih sangat muda

Hari itu 10 November, hujan pun mulai turun
Orang-orang ingin kembali memandangnya
Sambil merangkai karangan bunga
Tapi yang nampak, wajah-wajahnya sendiri yang tak dikenalnya

Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring
Tetapi bukan tidur, sayang
Sebuah peluru bundar di dadanya
Senyum bekunya mau berkata : aku sangat muda

TAHAJJUD CINTAKU

Mahaanggun Tuhan yang menciptakan hanya kebaikan
Mahaagung ia yang mustahil menganugerahkan keburukan
Apakah yang menyelubungi kehidupan ini selain cahaya
Kegelapan hanyalah ketika taburan cahaya tak diterima
Kecuali kesucian tidaklah Tuhan berikan kepada kita
Kotoran adalah kesucian yang hakikatnya tak dipelihara
Katakan kepadaku adakah neraka itu kufur dan durhaka
Sedang bagi keadilan hukum ia menyediakan dirinya
Ke mana pun memandang yang tampak ialah kebenaran
Kebatilan hanyalah kebenaran yang tak diberi ruang
Mahaanggun Tuhan yang menciptakan hanya kebaikan
Suapi ia makanan agar tak lapar dan berwajah keburukan
Tuhan kekasihku tak mengajari apa pun kecuali cinta
Kebencian tak ada kecuali cinta kau lukai hatinya

Amir Hamzah -’Raja’ Penyair Melayu

Tengku Amir Hamzah yang bernama lengkap Tengku Amir Hamzah Pangeran Indera Putera (lahir di Tanjung Pura, Langkat, Sumatera Timur, 28 Februari 1911 – meninggal di Kuala Begumit, 20 Maret 1946 pada umur 35 tahun) adalah seorang sastrawan Indonesia angkatan Pujangga Baru. Ia lahir dalam lingkungan keluarga bangsawan Melayu (Kesultanan Langkat) dan banyak berkecimpung dalam alam sastra dan kebudayaan Melayu.

Masa Kecil

Ayah Amir Hamzah bernama Tengku Muhammad Adil yang bergelar Datuk Paduka Raja. Tengku Muhammad Adil merupakan Wakil Sultan untuk Luhak Langkat Hulu yang berkedudukan di Binjai. Berdasarkan silsilah keluarga istana Kesultanan Langkat, Amir Hamzah adalah generasi ke-10 dari Sultan Langkat. Amir Hamzah menghabiskan masa kecil di kampung halamannya. Oleh teman sepermainannya, Amir kecil biasa dipanggil dengan sebutan Tengku Busu atau “tengku yang bungsu”. Said Hoesny, sahabat Amir Hamzah di masa kecilnya menggambarkan Amir Hamzah adalah anak manis yang menjadi kesayangan semua orang.

Pendidikan

Amir Hamzah mulai mengenyam bangku sekolah sejak umur 5 tahun, yakni Langkatsche School di Tanjung Pura tahun 1916. Sebagian besar guru di sekolah tersebut adalah orang Belanda. Hanya ada satu orang saja guru Melayu. Setelah menamatkan masa studi selama 7 tahun di sana, Amir Hamzah melanjutkan ke MULO di Medan. Setahun kemudian, Amir Hamzah pindah ke Batavia, melanjutkan sekolahnya di Christelijk MULO Menjangan. Ia lulus dari sekolah itu tahun 1927. Dari sana, ia meneruskan ke AMS di Solo, Jawa Tengah. Ia mengambil program studi Sastra Timur. Di Solo, mula-mula Amir Hamzah tinggal di kompleks asrama kediaman KRT Wreksodiningrat yang terletak di samping istana Kasunanan Surakarta. Kemudian Amir Hamzah tinggal bersama keluarga RT Sutijo Hadinegoro di Nggabelen. Setelah menyelesaikan masa studi di Solo, Amir Hamzah kembali Batavia untuk melanjutkan pendidikan di Sekolah Tinggi Hakim pada awal tahun 1934. Di masa-masa ini ia memperkaya dirinya dengan kebudayaan modern, kebudayaan Jawa, dan kebudayaan Asia yang lain. Selama di Pulau Jawa, ia juga banyak bergaul dengan tokoh pergerakan asal Jawa seperti Mr.Raden Pandji Singgih dan K.R.T Wedyodi.

Karir Kepenyairan

Amir Hamzah mulai mengasah minatnya pada sastra dan kepenyairan semenjak tinggal di Solo. Di sana ia berteman dengan Armijn Pane dan Achdiat K. Mihardja. Ketiganya sama-sama mengenyam pendidikan di AMS Solo. Di kota itu pula Amir Hamzah mulai menulis beberapa sajak pertamanya. Sajaknya yang berjudul Mabuk dan Sunyi dimuat dalam majalah Timbul asuhan Sanusi Pane. Beberapa sastrawan yang hidup semasa dengan Amir Hamzah antara lain Armijn Pane, Sanusi Pane, Sutan Takdir Alisjahbana, Mohammad Yamin, Soeman Hs, JE Tatengkeng, dan H.B. Jassin.

Amir Hamzah bersama dengan Sutan Takdir Alisjahbana dan Armijn Pane mendirikan majalah Pujangga Baru (1933), yang kemudian oleh H.B. Jassin dianggap sebagai tonggak berdirinya angkatan sastrawan Pujangga Baru. Amir Hamzah mewariskan 50 sajak asli, 77 sajak terjemahan, 18 prosa liris, 1 prosa liris terjemahan, 13 prosa, dan 1 prosa terjemahan. Jumlah keseluruhan karya itu adalah 160 tulisan [2]. Dua karya Amir Hamzah yang paling terkenal adalah kumpulan sajak Nyanyi Sunyi (1937) dan Buah Rindu (1941). Dalam Buah Rindu, yang ditulis antara tahun 1928 dan tahun 1935 terlihat jelas perubahan perlahan saat lirik pantun dan syair Melayu menjadi sajak yang lebih modern. Amir Hamzah juga pun melahirkan karya-karya terjemahan, seperti Setanggi Timur (1939), Bagawat Gita (1933), dan Syirul Asyar.

Dalam kumpulan sajak Buah Rindu (1941) yang ditulis antara tahun 1928 dan tahun 1935 terlihat jelas perubahan perlahan saat lirik pantun dan syair Melayu menjadi sajak yang lebih modern. Bersama dengan Sutan Takdir Alisjahbana dan Armijn Pane ia mendirikan majalah Pujangga Baru (1933), yang kemudian oleh H.B. Jassin dianggap sebagai tonggak berdirinya angkatan sastrawan Pujangga Baru. Kumpulan puisi karyanya yang lain, Nyanyi Sunyi (1937), juga menjadi bahan rujukan klasik kesusastraan Indonesia. Ia pun melahirkan karya-karya terjemahan, seperti Setanggi Timur (1939), Bagawat Gita (1933), dan Syirul Asyar.

Amir Hamzah tidak hanya menjadi penyair besar pada zaman Pujangga Baru], tetapi juga menjadi penyair yang diakui kemampuannya dalam bahasa Melayu-Indonesia hingga sekarang. Di tangannya, bahasa Melayu mendapat suara dan lagu yang unik yang terus dihargai hingga zaman sekarang.

Amir Hamzah terbunuh dalam Revolusi Sosial Sumatera Timur yang melanda pesisir Sumatra bagian timur di awal-awal tahun Indonesia merdeka. Pemuda Sosialis Indonesia menangkapi sekitar 21 tokoh feodal termasuk di antaranya Amir Hamzah tanggal 7 Maret 1946. Pada 20 Maret 1946, orang-orang yang ditangkapi itu dijatuhi hukuman mati. Amir Hamzah wafat di Kuala Begumit dan dimakamkan di pemakaman Masjid Azizi, Tanjung Pura, Langkat. Ia meninggalkan seorang istri, Tengku Kamaliah, dan seorang putri, Tengku Tahura. Amir Hamzah diangkat menjadi Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor 106/ tahun 1975, tanggal 3 November 1975.

Nama Amir Hamzah cukup terkenal sebagai nama seorang penyair yang besar dalam sastra Indonesia abad kedua puluh tetapi penyair ini yang berasal keturunan bangsawan dan julukannya sebagai ‘raja’ penyair Pujangga Baru yang diberikan kepada Amir Hamzah oleh H. B. Jassin (1986) ternyata mengakibatkan bahwa puisi Amir Hamzah sering dianggap terlalu ‘Melayu’ dan dengan demikian, kurang modern dan kurang maju jika dibandingkan dengan penyair-penyair Indonesia yang lain seperti misalnya Chairil Anwar yang bahasanya dianggap lebih ‘berbunyi Indonesia’. Julukan Teeuw kepada Amir Hamzah sebagai ‘penutup tradisi Melayu’ tidak membantu dari segi prestasi Amir Hamzah sebagai seorang penyair modern. Namun harus dikatakan bahwa Teeuw mengakui pula keberhasilan Amir Hamzah dan telah membahas secara mendetail beberapa aspek dari bahasa dan gaya bahasa puisinya yang modern. Teeuw pula (1979:103) yang mengutip tanggapan Chairil Anwar sendiri (Anwar: 1945) yang sangat mengagumi puisi Amir Hamzah dan agaknya tidak melihat ‘Melayunya’ bahasa puisi Amir Hamzah sebagai kekurangan melainkan sebagai kelebihan dan kekuatan penyair. Kata Chairil Anwar:
Continue reading

Kurnia

Kaukurnia aku,
Kelereng kaca cerah cuaca,
Hikmat raya tersembunyi dalamnya,
Jua bahaya dikandung kurnia,
Jampi kauberi, menundukkan kepala naga angkara.
Kelereng kaca kilauan kasih, menunjukkan daku itu lisan tanganmu.
Memaksa sukmaku bersorak raya, melapangkan dada¬ku menanti sentosa.
Sebab kelereng guli riwarni, kuketahui langit tinggi
berdiri, tanah rendah membukit datar.
Kutilik diriku, dua sifat mesra satu:
Melangit tinggi, membumi keji

Memuji Dikau

Kalau aku memuji dikau, dengan mulut tertutup, mata terkatup,
Sujudlah segalaku, diam terbelam, di dalam kalam asmara raya.
Turun kekasihmu, mendapatkan daku duduk bersepi, sunyi sendiri.
Dikucupnya bibirku, dipautnya bahuku, digantunginya leherku, hasratkan suara sayang semata.
Selagi hati bernyanyi, sepanjang sujud semua segala,
bertindih ia pada pahaku, meminum ia akan suaraku……………………
Dan,
Iapun melayang pulang,
Semata cahaya,
Lidah api dilingkung kaca,
Menuju restu, sempana sentosa.