Puisi dan Teori (part 4)

3) Personifikasi
Personifikasi adalah bahasa kias yang menjabarkan benda mati atau abstrak yang diasosiasikan dengan kehidupan atau sifat-sifat manusia (Abrams, 1981 : 65 ). Sejalan dengan pendapat tersebut Ahmadi (1979 : 27 ), mengatakan personifikasi adalah jenis metafor (non human) dengan sifat-sifat manusia. Lebih jelas lagi pendapat yang dikemukakan oleh Rahmad Djoko Pradopo, yang merumuskan pengertian personifikasi sebagai jenis bahasa kias yang mempersembahkan benda dengan manusia, benda-benda mati dapat berbuat, berpikir dan sebagainya seperti manusia. Personifikasi membuat hidup lukisan, di samping memberi kejelasan beberan, dan memberikan bayangan angan yang kongrit (Pradopo, 1987 : 75)
Dari pendapat-pendapat di atas, akhirnya dapat disimpulkan, bahwa personifikasi adalah jenis bahasa kias yang melukiskan benda-benda mati atau tak bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat manusia. Misalnya : “ Sebuah jendela menyerahkan kamar ini pada dunia “ (Chairil Anwar, 1966 : 23).

4) Metonimia
Metonimia adalah jenis bahasa kias yang mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan sesuatu hal lain, karena mempunyai pertautan yang sangat dekat (Abrams, 1981 : 65). Sedangkan Pradopo berangkat dari pendapat Altenbernt mengatakan bahwa metonimia adalah bahasa kias pengganti nama, yakni berupa penggunaan sesuatu yang sangat dekat berhubungan dengannya untuk menggantikan objek tersebut (Pradopo, 1987 : 77). Dalam metonimia arti sebuah kata diperluas atau diperkecil dari artinya yang lazim karena diasosiasikan dengan referensi dari kata yang lain (Mukhsin Ahmadi, 1979 : 29).

Dari pendapat-pendapat di atas, akhirnya dapat ditarik suatu kesimpulan, metonimia adalah jenis bahasa kias yang menggunakan nama atau atribut untuk menyatakan suatu hal lain, karena memiliki pertalian yang sangat dekat. Misalnya : “ Pena lebih tajam daripada pusaka “.

5) Sinekdoke
Sinekdoke adalah suatu istilah yang diturunkan dari kata Yunani Synekdechestai yang berarti menerima bersama-sama. Sinekdoke merupakan bahasa kias yang mempergunakan sebagian besar dari suatu hal untuk menyatakan keseluruhan ( Pars pro toto ) atau menggunakan keseluruhan hal untuk menyatakan sebagian ( totem pro parte ) ( (Abrams, 1981 : 65) ; (Pradopo, 1987 : 78). Pars pro toto adalah bahasa kias yang melukiskan suatu peristiwa dengan menyebutkan sebagian untuk keseluruhan. Misalnya ……… “ Ada tanganku, sekali akan jemu terkulai ….. ‘ tangan ‘ dalam kutipan puisi Chairil Anwar tersebut, mewakili keseluruhan aktivitas yang bisa melakukan sesuatu, yakni bekerja. Sedangkan totem pro parte, misalnya, tampak pada larik puisi Subagio Sastrowardoyo, …. Bumi ini perempuan jalang (Subagio, 1971 : 9).
Dalam contoh di atas, yang seperti perempuan jalang tentunya hanya sebagian dari makluk yang ada di bumi, yaitu manusia di lingkungan tertentu, tapi dalam hal ini, seluruh gejala yang ada, yaitu ‘bumi’ diangkat atau digunakan untuk mewakili salah satu makluk yang ada di bumu, yaitu manusia.

2.1.5.3 Fungsi bahasa kias dalam puisi
Telah ditemukan di muka, bahasa kias merupakan wujud penggunaan bahasa yang mampu mengekspresikan makna dasar ke asosiasi pengertian lain secara imajinatif untuk memperoleh kejelasan, penekanan, dan untuk menghidupkan gagasan. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat diketahui bahwa sebenarnya bahasa ki digunakan penyair untuk memperjelas, menekankan, dan menghidupkan gagasan yang disampaikan kepada pembaca. Pada sisi lain lain untuk mencapai tujuan tersebut, penyair berusaha menata dan memilih kata dan kalimat agar mampu mewakili gagasannya secara tepat, misalnya untuk mengungkapkan gagasan penyair tentang sifat Tuhan Yang Maha Penerang, digunakan bentuk perbandingan “ Kaulah kandil kemerlap “. Dengan ungkapan tersebut, penyair berharap agar pembaca dapat memahami apa yang ingin diungkapkan tentang kekuasaan Tuhan dengan sejelas dan sekongrit-kongritnya.

Uraian di atas menunjukkan kepada kita bahwa bahasa kias yang dipilih secara tepat dapat menolong pembaca untuk merasakan atau melihat apa yang dirasakan atau apa yang dilihat penyairnya. Hal itu seperti apa yang dikemukakan oleh Rahmad Djoko Pradopo, bahwa bahasa kias dapat menciptakan gambaran angan atau menyerupai (gembaran)yang dihasilkan oleh pengungkapan penyair terhadap objek yang dapat dilihat oleh mata, saraf penglihatan, dan daerah otak yang bersangkutan (Pradopo, 1987 : 80).
Berkaitan dengan citraan tersebut Rene Wellek menyebutkan 3 jenis citraan yaitu ( 1 ) citraan yang berkaitan dengan cita rasa penciptaan ‘ qustatory images ‘, ( 2 ) citraan yang berkaitan dengan cita rasa penciuman ‘ olfactory images’, dan ( 3 ) citraan yang berkaitan dengan suhu dan tekanan kinaesthetic / emphatic images’ (Wellek, 1968 : 187). Tidak jauh berbeda dengan pendapat di atas adalah pendapat yang dikemukakan oleh Rahmad Djoko Pradopo. Berangkat dari pendapat Altenbernd (1970) dan Burton (1977) Pradopo mengemukakan 6 jenis citraan, yakni (1) citraan penglihatan ‘visual imagery’, (2) citraan pendengaran ‘auditory imagery’, (3) citraan penciuman ‘ smell imagery ‘, (4) citraan perasaan dan pencecapan ‘taste imagery’, (5) citraan rabaan ‘thermal imagery’, dan (6) citraan pikiran ‘ intelectual imagery’ ((Pradopo, 1985 : 29)

Citraan penglihatan ‘ visual imagery ‘, yakni gambaran angan penyair yang dikongritkan melalui indera pengelihatan (mata). Dengan demikian jika pembaca menghayati puisi itu, seolah-olah ia melihat sesuatu itu. Misalnya “ Engkau pelik menarik, ingin serupa dari di balik tirai “.
Citraan pendengaran ‘auditory imagery ‘, yakni gambaran angan penyair yang dikongritkan melalui indera pendengaran. Dengan citraan pendengaran ini diharapkan jika pembaca menghayati puisi, seolah-olah mendengar sesuatu itu. Misalnya : “ hanya ular yang mendesis dekat sumber ‘.

Citraan penciuman ‘smell imagery’ adalah gambaran angan penyair yang dikongritkan melalui indera penciuman. Dengan imaji penciuman ini pembaca apabila menghayati puisi, seolah-olah mencium sesuatu itu. Misalnya : “Dua puluh tiga matahari, bangkit dari pundakmu, Tubuhmu menguapkan bau tanah “.
Citraan pencecapan ‘ taste imagery’ adalah gambaran angan penyair yang dikongritkan melalui indera pencecapan. Dengan citraan pencecapan ini pembaca puisi apabila menghayati puisi tersebut, seolah-olah merasakan sesuatu yang digambarkannya, misalnya “ Hari mekar dan bercahaya, yang ada hanya surga, neraka adalah rasa pahit di mulut waktu bangun pagi ‘.

Citraan rabaan ‘thermal imagery’ adalah gambaran angan penyair yang dikongritkan melauli indera rabaan. Dengan citraan rabaan ini diharapkan pembaca puisi yang menghayatinya akan tergerak indera rabaannya. Misalnya “ luka dan bisa kubawa lari, Berlari, Hingga hilang pedih peri “.
Terakhir adalah citraan pikiran ‘ intelectual imagery ‘ adalah gambaran angan penyair yang dikongritkan melalui aspek pikiran. Dengan citraan ini diharapkan pembaca puisi akan bergerak pikirannya untuk membanyangkan sesuatu yang digambarkannya. Misalnya, Bedah perutnya tapi masih setan ia menggeretak kuda, di tiap ayun menungging kepala.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dengan bahasa kias, yang diungkapkan secara dan cermat, dapat menimbulkan citraan, gambaran angan ‘ image imagery’ penyair yang dapat membantu pembaca untuk menangkap gagasan yang akan dituangkan.

2.2 Lapis Makna Puisi
Sebagai satu kesatuan yang dibentuk oleh berbagai unsur intrinsik tertentu, puisi menurut Rene Wellek (1968 : 151) dapat dipilih menjadi dua lapis utama, takni (1) lapis bunyi, dan (2) lapis arti. Lapis arti pada tataran berikutnya akan membuahkan lapis objek atau dunia realita, lapis objek yang dapat dipandang dari sudut pandang tertentu, serta objek yang bersifat metafisis.

Berkaitan dengan lapis arti yang dikemukakan oleh Rene Wellek di atas, I.A. Richards (1973 : 181) memilah makna puisi menjadi sejumlah unsur dan tingkatan. Unsur tingkatan itu meliputi (1) sense, yaitu sesuatu yang diciptakan atau digambarkan oleh penyair lewat puisi yang dihadirkan, (2) subject matter, yaitu pokok permasalahan atau pokok pikiran yang akan dikemukakan oleh penyair, (3) feeling, yaitu sikap penyair terhadap pokok persoalan yang dikemukakan oleh penyair, (4) tone, yaitu sikap penyair terhadap pembaca sejalan dengan pokok persolan yang dikemukakannya, (5) intention, yaitu tujuan yang melandasi penyair, (6) total of meaning, yaitu makna keseluruhan dalam suatu puisi, dan (7) theme, yaitu ide dasar dari suatu puisi yang menjadi saripati makna keseluruhan puisi.

Pemilihan lapis makna, selain diorientasikan pada keberadaan puisi sebagai gejala fenomenologi seperti dilakukan oleh Wellek, atau sebagai gejala komunikasi seperti yang dikemukakan Richards, juga dapat diorientasikan pada wujud objektif puisi sebagai paparan bahasa. Apabila kita mengaji pada wujud objektif, puisi sebagai paparan bahasa, aspek pembangunannya dapat disegmentasikan menjadi sejumlah tingkatan. Segmentasi tingkatan ini meliputi kata baris, kumpulan baris atau bait, dan puisi itu sendiri sebagai satuan teks yang utuh.

Bertumpu pada segmentasi tersebut, maka lapis makna puisi dapat dipilih menjadi lapis makna pada tataran kata, baris, kumpulan baris atau bait, dan pada tataran satuan teks. Model pemilihan lapis makna dalam penelitian ini adalah pemilihan lapis makna yang bertumpu pada teks puisi itu sendiri. Sejalan dengan model pemilihan lapis makna yang berangkat dari teks puisi, maka dalam uraian ini akan dibahas (1) makna kata dalam puisi, (2) pokok pikiran dalam puisi , (3) totalitas makna dalam puisi, dan (4) tema puisi.

2.2.1 Makna kata dalam puisi
Satuan arti yang menentukan struktur formal linguistik karya sastra adalah kata. Kata-kata dalam puisi adalah kata berjiwa. Dalam kata yang berjiwa terasa perasaan dan sikap penyair. Seperti apa yang dikatakan oleh Slamet Mulyana (1956 : 4) bahwa puisi mempunyai nilai seni apabila pengalaman jiwa (penyair) yang menjadi dasar dapat dijilmakan ke dalam kata.

Peranan kata dalam tagam sastra seperti halnya puisi tidak tidak berbeda dengan ragam komunikasi sehari-hari. Kata dalam puisi pada dasarnya merupakan pengemban ide atau pengertian. Perbedaannya hanya terletak pada tujuan pembuahan pengertiannya. Pembuahan pengertian kata dalam ragam komunikasi umum ialah untuk menyusun dan memahami secara benar, sedangkan dalam puisi sebagai salah satu bentuk komunikasi sastra penyair dalam membuahkan pengertian kata , selain untuk menyampaikan gagasannya, juga berkaitan erat dengan upayanya memperkaya gambaran makna dalam kata yang dipilihnya. Misalnya, kata ‘ matahari ‘bagi seorang penyair dapat diberi pengertian ‘ kehidupan ‘. Sementara dalam komunikasi umum atau ilmiah kata ‘matahari’ diartikan salah satu jenis planet yang berciri X’. Tegasnya dunia yang diciptakan oleh penyair lewat kata-kata yang dipilih bersifat simbolis sekaligus imajinatif. Sebagaimana dikatakan oleh Wellek (1968 : 23) bahasa sastra penuh dengan konotasi makna, penuh dengan ambiguitas, serta penuh dengan asosiasi.

Penggunaan kata dalam puisi seorang penyair bukan hanya diselaraskan dengan ide yang akan dikemukakan dan digambarkan, tetapi juga yang memperhatikan adanya pola persajakan dan paduan bunyi untuk memperdalam makna yang akan dikemukakan. Oleh karenanya, dalam usaha memahami makna yang terkandung puisi, seorang pembaca harus memahami makna kata yang mendukungnya.

2.2.2 Pokok pikiran puisi
Kata, baris, kelompok baris dalam puisi sebagai pewadah ide dan konsep seorang penyair senantiasa mengandung makna di dalamnya. Makna yang dikandung oleh kata, baris dan kelompok baris tersebut tidak berdiri sendiri, tetapi mendukung suatu keseluruhan yang utuh dan padu, dalam rangka membangun makna utuh (I.A. Richards, 1973 : 309).

Ada peranan kata, baris, dan kelompok baris sebagai pewadah ide dan konsep penyair, maka ide itu atau konsep penyair akan mewujud diri lewat kata, baris, ataupun kelompok baris. Ide konsep lebih lanjut akan berada dalam satuan pokok pikiran tertentu yang diwadahi oleh baris atau sejumlah baris. Dan keseluruhan pokok pikiran itu akan mendukung adanya makna itu puisi .

Konsep serta ide seorang penyair memiliki kemungkinan yang sangat luas dan kompleks , sesuai dengan kompleksitas suasana batin penyair sendiri dalam menanggapi segala yang ada dan mungkin ada .

2.2.3 Totalitas makna dalam puisi
Sebagai salah satu hasil kreatifitas seorang penyair , puisi merupakan bentuk komplek yang didukung oleh bermacam aspek, dan masing- masing tersebut menunjukan adanya keselaran yang indah dan padu. Menurut Wellek (1968:52)aspek-aspek tersebut dapat disejajarkan dengan lapis yang membentuk satu kesatuan, meliputi lapis bunyi, lapis makna, lapis objek,yang diciptakan pengarang, lapis dunia yang dilihat dari sudut pandang tertentu, serta lapis yang bersifat metafisis.

Dalam memilahkan lapis –lapis yang membangun suatu karya sastra (puisi ),Wellek meletakan lapis makna ini pada lapis yang kedua,yang didukung oleh kata berasa dalam konteks dan satuan tertentu dalam relasi sintagmatis serta pola kalimatnya (Wellek, 1968:151). Keseluruhan aspek yang mendukung lapis makna tersebut pada dasarnya merupakan unsur dari suatu karya puisi, sebagai alat dalam mewujudkan makna itu sendiri. Sedangkan totalitas makna yang didukung oleh aspek tersebut didalamnya meliputi sense, feeling, tone, dan intention, yang lebih lanjut akan membuahkan tema yang mendasari keseluruhan puisi .
Dari uraian diatas dapat dimbil kesimpulan bahwa untuk dapat memahami makna puisi, seorang pembaca harus dapat memahami makna kata, pokok pikiran dalam bait, sikap penyair dan tema yang di kandungnya.

2.2.4 Tema dalam puisi
Istilah “ tema “ (Ing : theme) berasal dari bahasa Yunani, yang berarti tempat, ketatapan, meletakkan. Dalam puisi pengertian tema diartikan ide dasar yang menjadi saripati keseluruhan makna puisi (Aminuddin, 1987 : 151).

Pemahaman tema puisi, tidak cukup hanya dengan memparafrasekan puisi ke dalam bentuk prosa, atau dengan memahami latar belakang kehadiran serta tujuan penciptanya. Dalam hal ini seorang pembaca perlu memahami pengalaman kehidupan yang dituangkan penyair, memahami sikap penyair, serta memahami makna utuh yang dikandungnya. Dari pemahaman keseluruhan itu seorang pemnaca diharapkan dapat menyimpulkan ide dasar atau tema puisi.

2.3 Aspek Keindahan dalam Puisi
Istilah keindahan atau estetis, berasal dari bahasa Yunani aesthesis yang berarti ‘ perasaan ‘ pencerapan, persepsi “. Kata itu untuk pertama kali dipakai oleh Baumngarten (1762 ), seorang filsuf Jerman, untuk menunjukkan cabang filsafat yang berurusan dengan seni dan keindahan (Dick Hartoko, 1983 : 8). Disiplin keilmuan yang lazimnya menjadi salah satu cabang yang mengaji masalah keindahan disebut estetika. Dalam perkembangannya, keindahan selain dihubungkan dengan pengalaman batin penanggap, juga dihubungkan dengan wujud gejalanya sendiri. Perkembangan demikian terjadi selain keindahan itu tidak pernah berdiri sendiri, juga sejalan dengan upaya mengkaji keindahan secara objektif.
Sejalan dengan terdapatnya unsur paparan bahasa dalam lapis makna puisi, aspek-aspek keindahan dalam karya sastra (puisi ), berkaitan dengan (1) bunyi, (2) diksi, (3) unit struktur, dan (4) nuansa makna. Masing-masing unsur tersebut tidak berdiri secara terpisah-pisah, tetapi berada dalam keselarasan dan kesatuan.

Aspek bunyi dalam puisi disebut berperan dalam menuansakan keindahan, karena pilihan bunyi dalam puisi dapat memberikan keindahan, karena pilihan bunyi dalam puisi dapat memberikan efek (1) musikalitas, (2) irama, (3) nuansa makna, dan (4) gembaran hubungan antar unsur pembangun puisi secara asosiatif, yang lebih lanjut menciptakan keselarasan hubungan antara unsur dalam puisi. Pradopo, 1987 : 22) mengatakan bunyi dalam puisi bersifat estetik dan merupakan unsur bunyi untuk mendapatkan keindahan dan tenaga yang ekspresif. Di samping itu bunyi juga dapat menimbulkan suasana khusus. Paduan bunyi “ Aku manusia / rindu rasa “ sebagai rima akhir misalnya, dapat menggambarkan hubungan sintagmatis antara larik antara “ Aku manusia “ dan “ rindu rasa “.

Seperti telah disinggung di depan, diksi berperanan dalam menampilkan citraan yang sesuai dengan kesatuan (unity) dalam hubungannya antar unit struktur yang menimbulkan (unity) dalam hubungannya antar unit struktur yang menimbulkan bahasa kias dalam berbagai jenisnya. Pada sisi lain, diksi juga mampu memberikan efek suasana penggambaran dunia tertentu secara imajinatif, serta menciptakan kesatuan hubungan antar unsur pengembangan puisi sebagai suatu teks. Peranan diksi tersebut sejalan dengan kenyataan bahwa kata-kata dalam puisi merupakan “lexical set” yakni butir kata dalam teks yang memiliki hubungan antara yang satu dengan yang lain sesuai dengan totalitas teksnya (Cumming, 1986 : 176 ).
Diksi tersebut mampu berperan dalam menciptakan nunsa suasana karena pilihan kata maupun kelompok kata yang dilakukan oleh seorang penyair pasti mempertimbangkan kemungkinan gambaran dunia yang dipantulkan secara imajinatif serta berbagai macam asosiasi yang dibuahkan. Bervield (dalam Pradopo, 1987 : 54) mengatakan bahwa bila kata yang dipilih dan susunan dengan cara yang sedemikian rupa akan menimbulkan imaji estetik maka hasilnya akan disebut diksi puitis. Lebih dari itu pilihan kata dalam kelompok kata tentunya mempertimbangkan efek suasanannya, baik yang tercipta melalui ciri bunyi yang mendukung struktur katanya maupun ciri gambaran objektifitasnya. Diksi yang berbunyi “ binatang jalang “ misalnya, akan memberikan efek yang berbeda bila dibandingkan dengan hewan liar. Dalam komunikasi sehari-hari seorang yang marah lebih hidup bila digambarkan dengan misalnya “ Ia mengebrak “ “Ia memukul meja “.
Kata-kata dalam puisi seperti yang diungkapkan oleh Cumming (1986 : 176 ) bukan seperti kosa kata yang terdapat dk kamus, tetapi merupakan perangkat “ lexical set “ yang membangun kesatuan teks. Dengan demikian tebaran diksi yang ada dalam baris-baris yang berbeda, misalnya antara yang satu dengan yang lain, harus mampu menjalin keselarasan hubungan semantis maupun kesatuan hubungan tinjauan dari aspek formalnya. Sebagai contoh penggunaan kata meradang menerjang pada larik ke ke-8 puisi Chairil Anwar yang berjudul Aku mempunyai tautan dengan kata terbuang pada larik ke-6 dan jalang pada larik ke-5. Kata-kata tersebut pada dasarnya mempunyai fungsi anaforik yang lebih lanjut mampu menciptakan keseluruhan kesatuan.

Aspek keindahan, selain dapat ditampilkan oleh aspek bunyi dan diksi, juga dapat ditampilkan oleh aspek unit struktur, baik berupa satuan bahasa kias maupun berupa satuan baris. Tidak berbeda dengan diksi, unit struktur dalam memberikan efek keindahan selain berperanan menggambarkan dunia tertentu secara imajinatif juga menciptakan kesatuan (unity) dan keselarasan (harmony). Larik yang berbunyi “ kamu tak seorang ‘kan merayu “ dalam puisi Aku misalnya, akan memberikan gambaran dunia yang berbeda apabila diungkapkan dalam bentuk “ Aku mau tidak seorang akan merayu “. Selain itu gambaran suasana yang ditampilkannya pun berbeda karena terdapatnya penghilangan bunyi /a/ pada aku. Misalnya lagi penggantian “tak” dan penghilangan /a/ pada akan dapat menggambarkan suasana kekesalan dalam hati dan semangat.
Lebih lanjut penghilangan bunyi-bunyi dalam unit struktur juga berperan dalam menciptakan paduan bunyi, keselarasan aspek-aspek yang membangun unit struktur. Misalnya penghilangan bunyi-bunyi pada larik ke-2 “ku mau tak seorang ‘ kan merayu “ puisi Aku, ternyata mampu menampilkan keselarasan antara unit tersebut dengan unit struktur pada larik ke-3 “tidak juga kau “. Kesatuan hubungan antar unit tersebut lebih lanjut juga berperan dalam menciptakan keselarasan hubungan semestinya.

Leave a comment